Museum Konperensi Asia Afrika

Museum Konperensi Asia Afrika terletak di Jl. Asia Afrika No. 65, Kelurahan Braga, Kecamatan Sumur Bandung, Kota Bandung. Untuk menuju lokasi museum yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari pusat Kota Bandung (alun-alun), dapat dicapai melalui tiga rute (menggunakan angkutan umum). Rute pertama, dari Terminal Bus Cicaheum menggunakan bus jurusan Cicaheum-Leuwipanjang, turun di halte bus Asia-Afrika dan disambung dengan berjalan kaki sejauh +100 meter menuju Alun-alun Bandung. Rute kedua, dari Terminal Bus Leuwipanjang menggunakan bus jurusan Cicaheum-Leuwipanjang, turun di halte bus Asia-Afrika dan disambung dengan berjalan kaki sejauh +100 meter menuju Alun-alun Bandung. Sedangkan apabila menggunakan kereta api, dari Stasiun Kereta Api Bandung (Kebun Kawung) menggunakan angkutan kota jurusan St. Hall-Gedebage, turun di halte bus Asia-Afrika dan disambung dengan berjalan kaki sejauh + 100 meter menuju Jalan Braga.

Museum Konperensi Asia Afrika dahulu merupakan tempat dilangsungkannya Konferensi Asia Afrika pada tanggal 18 hingga 24 April 1955. Konferensi yang merupakan tindak lanjut dari Konferensi Bogor ini diselenggarakan dengan empat tujuan pokok, yaitu: (1) untuk memajukan googwill (kehendak yang luhur) dan kerja sama antara bangsa-bangsa Asia dan Afrika, menjelajah serta memajukan kepentingan-kepentingan mereka, baik yang silih ganti maupun yang bersama, serta menciptakan dan memajukan persahabatan serta perhubungan sebagai tetangga baik; (2) untuk mempertimbangkan soal-soal serta hubungan-hubungan di lapangan sosial, ekonomi, dan kebudayaan negara yang diwakili; (3) untuk mempertimbangkan soal-soal yang berupa kepentinga khusus bangsa-bangsa Asia dan Afrika, misalnya soal-soal yang mengenai kedaulatan nasional dan tentang masalah-masalah rasialisme dan kolonialisme; dan (4) untuk meninjau kedudukan Asia dan Afrika, serta rakyat-rakyatnya di dalam dunia dewasa ini serta sumbangan yang dapat mereka berikan guna memajukan perdamaian serta kerja sama di dunia.

Dalam konferensi yang diselenggarakan oleh lima negera (Indonesia, Srilanka, Birma, India, dan Pakistan)1 dan dihadiri oleh 242 negera tersebut dicapai suatu kesepakatan politik yang berisi 10 buah prinsip dasar dalam usaha memajukan kerja sama bidang ekonomi, kebudayaan, politik dan mewujudkan perdamaian dunia. Kesepuluh prinsip tersebut adalah: (1) Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta azas-azas yang termuat dalam Piagam PBB; (2) Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa-bangsa; (3) Mengakui persamaan semua suku-suku bangsa dan persamaan semua bangsa-bangsa besar maupun kecil; (4) Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soal-soal dalam negeri negara lain; (5) Menghormati hak tiap-tiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara sendirian atau secara kolektif, yang sesuai dengan Piagam PBB; (6) a. Tidak mempergunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara-negara besar, b. Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain; (7) Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi ataupun penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik sesuatu negara; (8) Menyelsaikan segala perselisihan-perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrase atau penyelesaian hakim atau pun lain-lain cara damai lagi menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan, yang sesuai dengan Piagam PBB; (9) Memajukan kepentingan bersama dan kerja sama; dan (10) Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.

Sepuluh prinsip dasar yang kemudian termashur dengan nama Dasa Sila Bandung itu menjadi tonggak dan juga pedoman bagi bangsa-bangsa di kawasan Asia dan Afrika dalam memperjuangkan kemerdekaan dan juga sebagai pemersatu dalam menggalang kerja sama internasional untuk menciptakan perdamaian di dunia.

Sejarah Gedung
Gedung tempat berlangsungnya konferensi (Gedung Merdeka) dan gedung disebelahnya yang sekarang menjadi Museum Konperensi Asia Afrika mempunyai sejarah yang panjang. Kedua gedung yang menempati areal seluas 7.983 meter persegi ini mulai dibangun pada tahun 1895 dengan sebagian dindingnya terbuat dari papan dan penerangan halamannya masih memakai lentera minyak tanah. Letak bangunannya sendiri sangat strategis karena tepat berada di sudut Jalan Groote Postweg (sekarang Jalan Asia Afrika) dan Jalan Bragaweg (sekarang Jalan Braga). Sedangkan di sebelah kanannya berdekatan dengan Kali Tjikapoendoeng (Cikapundung) yang saat itu masih sejuk karena banyak ditumbuhi pohon-pohon besar dan rindang.

Oleh karena tempatnya yang strategis, bangunannya kemudian difungsikan sebagai tempat berkumpul dan berekreasi orang-orang Belanda yang berdomisili di Kota Bandung dan Sekitarnya. Mereka adalah para pegawai perkebunan, perwira, pembesar, pengusaha, dan kalangan lain yang mendirikan sebuah perkumpulan bernama Societeit Concordia.

Agar terlihat mewah, megah, dan ekslusif, pada tahun 1921 bangunan direnovasi. Perancangnya adalah Van Gallen Last dan C.P. Wolff Schoemaker, dua orang arsitek Belanda yang juga merupakan Guru Besar pada Technische Hogeschool (sekarang Institut Teknologi Bandung). Mereka merancang dengan gaya arsitektur modern (art deco) yang ditandai oleh lantai terbuat dari marmer buatan Italia, ruangan tempat minum dan bersantai terbuat dari kayu cikenhout, dan sebagai penerangannya dipakai lampu-lampu bias kristal agar terlihat gemerlap. Setelah jadi, bangunan dinamai sesuai dengan nama perkumpulan yang menempatinya, yaitu Societeit Concordia.

Pada tahun 1940 Gedung Societeit Concordia direnovasi lagi dengan gaya arsitektur international style karya A.F. Aalbers. Bangunan pun berubah sesuai dengan konsep Aalbers, yaitu: dinding berupa tembok plesteran; atap dibuat mendatar; tampak depan terdiri dari garis dan elemen horizontal; dan bagian dalam gedung bercorak kubistis.

Beberapa tahun setelah direnovasi gedung terpaksa ditinggalkan oleh kelompok Societeit Concordia karena tentara Jepang masuk dan menguasai Indonesia. Oleh Jepang Gedung Concordia diganti namanya menjadi Dai Toa Kaikan dan difungsikan sebagai pusat kebudayaan. Gedung Dai Toa Kaikan hanya berfungsi sebentar karena setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, gedung diambil alih oleh para pemuda dan dijadikan sebagai markas untuk menghadapi tentara Jepang yang belum mau menyerah.

Setelah berhasil mengusir tentara Jepang dan pemerintahan Indonesia mulai terbentuk, nama dan fungsi gedung dikembalikan lagi seperti semula. Selama beberapa tahun di gedung ini kembali diselenggarakan pertunjukan kesenian, pesta, restoran, dan pertemuan umum lainnya hingga Indonesia didaulat untuk menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Kota Bandung pada tahun 1954. Concordia yang saat itu telah menjelma menjadi sebuah gedung pertemuan umum yang paling besar dan megah di Bandung, lokasinya di tengah kota, dan berdekatan dengan Hotel Savoy Homann dan Preanger dipilih sebagai tempat berlangsungnya konferensi.

Agar lebih sesuai sebagai tempat konferensi bertafar internasional, mulai awal tahun 1955 Gedung Concordia dipugar. Pemugarannya ditangani oleh Jawatan Pekerjaan Umum Propinsi Jawa Barat di bawah pimpinan Ir. R. Srigati Santoso. Sedangkan pelaksanaan pemugarannya ditangani oleh Biro Ksatria pimpinan R. Machdar Prawiradilaga, PT. Alico pimpinan M.J. Ali, dan PT. AIA di bawah pimpinan R.M. Madyono.

Dalam kesempatan memeriksa persiapan-persiapan terakhir di Bandung pada tanggal 17 April 1955, Presiden RI Soekarno meresmikan penggantian nama Gedung Concordia menjadi Gedung Merdeka, Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwi Warna, dan sebagian Jalan Raya Timur menjadi Jalan Asia Afrika. Penggantian nama tersebut dimaksudkan untuk lebih menyemarakkan konferensi dan menciptakan suasana konferensi yang sesuai dengan tujuan konferensi.

Selesai dipugar, diberi nama, dan digunakan untuk Konferensi Asia Afrika, Gedung Merdeka difungsikan lagi untuk berbagai macam kegiatan, seperti: (1) tempat kegiatan Konstituante Republik Indonesia hasil pemilihan umum tahun 1955 untuk menetapkan dasar negara dan undang-undang dasar negara. Namun karena dinilai gagal melaksanakan tugasnya, Konstituante Republik Indonesia dibubarkan melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959; (2) tempat kegiatan Badan Perancang Nasional dan kemudian menjadi Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang terbentuk pada tahun 1960; (2) tempat berlangsungnya Konferensi Islam Asia Afrika tahun 1965; (3) setelah meletus pemberontakan G30S/PKI pernah dikuasai oleh instansi militer dan sebagian bangunannya dijadikan sebagai tempat tahanan politik G30S/PKI; dan (4) menjadi tempat peringatan Konperensi Asia Afrika yang ke-25 yang puncak peringatannya ditandai oleh peresmian gedung menjadi Museum Konperensi Asia Afrika oleh Presiden Soeharto.

Sejarah Pendirian Museum
Pendirian Museum Konperensi Asia Afrika bermula dari keinginan para pemimpin bangsa di Asia dan Afrika untuk mengetahui seluk beluk tempat konferensi dahulu berlangsung. Terilhami oleh hal itu, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia waktu itu, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H.,LL.M. mempunyai gagasan untuk membangun sebuah museum yang berkaitan dengan Konperensi Asia Afrika (KAA) 1955. Gagasan tersebut disampaikannya pada Forum Rapat Panitia Peringatan 25 tahun Konferensi Asia Afrika yang juga dihadiri oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Prof. Dr. Haryati Soebadio sebagai wakil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Gagasan Mochtar ternyata disambut baik dan segera diwujudkan oleh Joop Ave, Ketua Harian Panitia Peringatan 25 tahun KAA dan Dirjen Protokol dan Konsuler Deplu (1980-1982), bekerjasama dengan Depdikbud, Deppen, Pemda Provinsi Jawa Barat, dan Universitas Padjadjaran. Sedangkan perencanaan dan pelaksanaan teknisnya dikerjakan oleh PT. Decenta Bandung.

Adapun tujuan pendiriannya, selain memenuhi keinginan para pemimpin Asia Afrika untuk “bernostalgia”, juga untuk: (1) menyajikan peninggalan-peninggalan, informasi yang berkaitan dengan KAA, termasuk latar belakang, perkembangan konferensi tersebut, sosial budaya, dan peran bangsa-bangsa Asia Afrika, khususnya bangsa Indonesia dalam percaturan politik dan kehidupan dunia; (2) mengumpulkan, mengolah, dan menyajikan buku-buku, majalah, surat kabar, naskah, dokumen, dan penerbitan lainnya yang berisi uraian dan informasi mengenai kegiaan dan peranan bangsa-bangsa Asia Afrika dan negara-negara berkembang dalam percaturan politik dan kehidupan dunia serta sosial budaya negara-negara tersebut; (3) melakukan penelitian tentang masalah-masalah Asia Afrika dan negara-negara berkembang guna menunjang kegiatan pendidikan dan penelitian ilmiah di kalangan pelajar, mahasiswa, dosen, dan pemuda Indonesia serta bangsa-bangsa Asia Afrika pada umumnya, dan memberikan masukan bagi kebijakan pemerintah dalam kegiatan politik luar negeri; (4) menunjang upaya-upaya dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional, pendidikan generasi muda, dan peningkatan kepariwisataan; (5) menunjang upaya-upaya untuk menciptakan saling pengertian dan kesatuan pendapat serta meningkatkan volume kerja sama di antara bangsa-bangsa Asia Afrika dan bangsa-bangsa lainnya di dunia; dan (6) melalui koleksi serta sarana dan prasarana yang dimilikinya, seperti: R. Kepala Museum, R. Administrasi, R. Perpustakaan, Souvenir Shop, R. Pameran, R. Koleksi, Gudang Koleksi, R. Pamer Temporer, Lobby, R. Audiovisual, Mushola, dan MCK, pengelola Museum KAA berupaya mewujudkan tekadnya dalam melayani pengunjung sebaik mungkin sesuai dengan harapannya datang ke museum.

Koleksi Museum Konperensi Asia Afrika
Sampai saat ini Museum Konperensi Asia Afrika memiliki sekitar 4.000 buah koleksi yang dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: koleksi benda-benda tiga dimensi dan dua dimensi. Benda-benda tersebut diantaranya adalah: (1) diorama gambaran suasana Sidang Pembukaan Konferensi Asia Afrika di Gedung Merdeka 18 April 1955; (2) kursi-kursi rotan yang diduduki para delegasi ketika melakukan pertemuan untuk melobi dan mempererat persahabatan; (3) kamera, mesin tik, dan mesin teleks yang dipakai selama konferensi berlangsung; (4) prangko-prangko yang berhubungan dengan Konferensi Asia Afrika; (5) galeri foto tentang kondisi Gedung Merdeka dari masa ke masa; (6) replika Presiden Soekarno ketika memimpin para kepala negara Asia dan Afrika pada Konferensi Asia Afrika; (7) foto-foto dokumenter tentang peristiwa Pertemuan Tugu, Konferensi Kolombo, Konferensi Bogor, KAA 1955, peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya KAA, dampak KAA bagi dunia internasional, profil negara-negara peserta KAA; dan (8) film-film dokumenter mengenai kondisi dunia hingga tahun 1950-an, KAA dan konferensi-konferensi lanjutannya, serta film-film mengenai kondisi sosial, politik, dan budaya dari negara-negara di kawasan Asia dan Afrika.

Untuk menjaga seluruh koleksi tersebut agar tidak hilang atau rusak dan merawat bangunan seluas 7.983 meter persegi yang terdiri dari ruang pameran tetap3, ruang aula, ruang perpustakaan4, ruang audio visual5, ruang penyimpanan koleksi, ruang pameran temporer, ruang souvenir shop, ruang administrasi, mushola, dan toilet pihak museum yang buka dari hari Senin-Jumat pukul 08.00 s/d 15.00 WIB ini mempekerjakan puluhan orang yang merupakan pegawai negeri pada Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, terdiri dari tenaga fungsional, tenaga administrasi, dan bagian keamanan. (ali gufron)

Sumber:
Leaflet panduan Museum of The Asian-African Conference, Bandung-Indonesia. Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.
http://www.asianafrican-museum.org
____________________________________
1. Negera penyelenggara konferensi hasil keputusan Konferensi Bogor membentuk sebuah Sekretariat Bersama (Joint Secretariat) yang beranggotakan 10 orang, terdiri dari 2 orang dari Birma, 2 orang dari India, seorang dari Srilanka, seorang dari Pakistan dan 4 orang dari Indonesia. Anggota sekretariak bersama dari Indonesia diwakili oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Roslan Abdul Gani, dari Birma oleh U Mya Sein, Srilanka oleh M. Saravanamuttu, India diwakili oleh B.F.H.B Tyobji, dan dari Pakistan diwakili oleh Choudhri Khaliquzzaman.

Guna membantu persiapan konferensi tersebut, dari pihak pemerintah Indonesia sendiri pada tanggal 11 Januari 1955 membentuk Panitia Interdepartemental (Interdepartemental Committee) yang diketuai oleh Sekretaris Jenderal Sekretariat Bersama dengan anggota-anggota yang berasal dari berbagai departemen. Sedangkan, dari pihak pemerintah daerah (Provinsi Jawa Barat) membentuk Panitia Setempat (Locak Committee) yang diketuai oleh Sanusi Hardjadinata, Gubernur Jawa Barat, yang bertugas mempersiapkan dan melayani masalah-masalah yang bertalian dengan akomodasi, logistik, transportasi, kesehatan, komunikasi, hiburan, protokol, penerangan, dan lain sebagainya.

2. Negara-negara yang diundang dan menghadiri Konferensi Asia Afrika, adalah: Afganistan, Kamboja, Federasi Afrika Tengah, Republik Rakyat Tiongkok (China), Mesir, Ethiopia, Pantai Emas (Gold Coast), Iran, Irak, Jepang, Yordania, Laos, Lebanon, Liberia, Libya, Nepal, Filipina, Saudi Arabia, Sudan, Syria, Thailand (Muang Thai), Turki, Republik Demokrasi Vietnam (Vietnam Utara), Vietnam Selatan, dan Yaman.

3. Ruang pameran tetap Museum KAA menyimpan sejumlah koleksi berupa benda-benda tiga dimensi dan foto-foto dokumenter peristiwa Pertemuan Tugu, Konferensi Kolombo, Konferensi Bogor, dan Konferensi Asia Afrika 1955. Selain itu ada juga foto-foto mengenai peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya Konferensi Asia Afrika, diorama yang menggambarkan situasi pembukaan Konferensi Asia Afrika, dampak konferensi Asia Afrika bagi dunia internasional, Gedung Merdeka dari masa ke masa, dan profil negara-negara peserta Konferensi Asia Afrika yang dimuat dalam multimedia.

4. Perpustakaan Museum KAA berdiri sekitar tahun 1985 yang diprakarsai oleh Abdullah Kamil, Kepala Perwakilan Kedutaan Besar Republik Indonesia di London. Tujuannya adalah sebagai penunjang kegiatan Museum Konperensi Asia Afrika dengan menyediakan sejumlah buku mengenai sejarah, sosial, politik, dan budaya negera-negara di Asia dan Afrika, dokumen-dokumen mengenai KAA dan konferensi-konferensi lanjutannya, majalah dan surat kabar, fasilitas wi-fi, bookshop café, digital library, dan audio visual library.

5. Sama seperti perpustakaan, ruang audio visual juga diprakarsai oleh Abdullah Kamil pada tahun 1985. Tujuannya adalah sebagai sarana untuk menampilkan film-film dokumenter mengenai kondisi dunia hingga tahun 1950-an, Konferensi Asia Afrika dan konferensi-konferensi lanjutannya, serta film-film mengenai kondisi sosial, politik, dan budaya dari negara-negara di kedua kawasan tersebut.