Nenek Apoi

(Cerita Rakyat Sabah)

Pada zaman dahulu kala di daerah Lahad Datu ada seorang pahlawan Ketua Kaum Idahan yang kekuasaannya sangat luas sekali, mulai dari daerah Sungai Kinabatangan hingga ke perairan Pulau Temburung di daerah Semporna. Dia bernama Nenek Apoi yang dalam bahasa Idahan berarti “Api”.

Nenek Apoi yang dianggap sebagai pahlawan kemakmuran bagi kaum Idahan mempunyai seorang isteri bernama Liungayoh yang dalam bahasa Idahan berarti “Perempuan Besar:” mereka mempunyai tiga orang anak yang telah dewasa dan hidup terpisah di daerah Sungai Segama, Sungai Tungku dan Sapagaya. Hal ini membuat pasangan suami isteri Nenek Apoi dan Liungayoh sering berpindah tempat tinggal dari satu anak ke anak lainnya.

Suatu hari, walau telah memiliki tiga orang anak ternyata Liungayoh hamil lagi dan mengidam ingin memakan hati payau. Ia lalu meminta pada suaminya untuk mencarikan hati payau. “Apoi, maukah engkau mencarikan aku hati seekor payau? Aku hendak memakannya,” katanya meminta.

Melihat isterinya tengah hamil muda dan permintaan itu konon datangnya dari sang jabang bayi, maka Nenek Apoi langsung menyetujuinya. “Kalau itu maumu, besok aku akan berburu payau di hutan,” kata Nenek Apoi.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Nenek Apoi sudah siap untuk berburu payau di dalam hutan. Perbekalannya hanyalah sebilah tombak dan parang serta sedikit makanan dan minuman yang dibuatkan oleh isteri tercintanya, Liungayoh. Selain perbekalan, ia juga membawa anjing kesayangannya yang bernama Siyud Rapot.

Setelah berpamitan, Nenek Apoi bersama Siyud Rapot langsung pergi menuju ke tengah hutan. Namun, selama beberapa hari di dalam hutan mereka tidak menjumpai seekor pun payau. Padahal, binatang ini jumlahnya banyak dan biasanya sangat mudah untuk ditangkap. “Waduh, sudah enam hari aku berada di hutan ini tapi tak seekor payau pun terlihat.” Katanya setengah putus asa.

Pada hari ketujuh, dengan perasaan semakin putus asa dan kondisi fisik yang sudah sangat letih Nenek Apoi memutuskan untuk beristirahat sejenak dibawah sebuah pohon rindang. Namun, tidak berapa lama ia tertidur tiba-tiba Siyud Rapot menyalak keras sekali. Kaget oleh suara gonggongan, Nenek Apoi langsung berdiri dan melihat ke arah Siyud Rapot untuk melihat makhluk apa yang sedang digonggongnya. Ternyata makhluk itu adalah hewan yang selama beberapa hari ini dicarinya yaitu seekor payau. Payau itu bukanlah payau biasa karena memiliki kulit yang berwarna emas.

Tanpa berpikir panjang lagi Nenek Apoi langsung berlari memburu payau emas itu. Setelah dekat ia segera melemparkan tombaknya hingga mengenai tubuh Sang Payau Emas. Ketika Nenek Apoi mencabut parangnya dan hendak menyembelih, tiba-tiba Sang Payau Emas bicara, “Tolong jangan bunuh aku.”

“Aih, engkau bisa bicara?” kata Nenek Apoi tidak percaya.

“Ya, aku bisa berbicara. Jadi, tolong jangan bunuh aku. Biarkan aku bebas,” kata Sang Payau Emas memelas.

“Kalau aku melepaskanmu, nanti akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan apabila bayiku telah lahir. Isteriku sedang hamil dan mengidam ingin makan hati payau. Sudah berhari-hari aku berburu payau, mana mungkin aku akan melepaskanmu begitu saja,” jawab Nenek Apoi panjang lebar.

“Kalau engkau melepaskanku akan aku berikan harta yang tidak habis hingga ke anak cucumu,” kata Sang Payau Emas.

“Aku hanya mau hatimu, aku tidak mau hartamu!” kata Nenek Apoi ketus.

“Harta itu ada dalam goa di belakangmu. Kalau engkau tidak percaya masuk dan lihatlah sendiri,” kata Payau Emas mencoba bernegosiasi.

Penasaran oleh perkataan Sang Payau Emas, Nenek Apoi lalu berkata, “Baiklah, aku akan melihatnya. Janganlah engkau kemana-mana. Apabila engkau bergerak, tombak yang menancap di tubuhmu itu akan semakin membuat lebar lukamu.”

Saat Nenek Apoi telah berada di mulut goa, Sang Payau Emas ternyata sudah menghilang. Yang ada hanyalah tombak yang menancap ditanah dan bekas cecera darahnya. Nenek Apoi merasa kecewa tetapi tetap meneruskan masuk ke dalam goa. Sesampainya di dalam goa yang dilihatnya hanyalah puluhan sarang burung layang-layang. Harta yang dimaksudkan oleh Sang Payau Emas ternyata adalah sarang burung layang-layang yang sangat berguna bagi kesehatan manusia sehingga apabila dijual harganya mahal.

Saat ini goa temuan Nenek Apoi dinamakan Goa Madai, terletak di daerah Lahad Datu, Sabah yang terkenal hingga ke mancanegara sebagai penghasil sarang burung layang-layang. Konon, di depan Goa Madai hingga sekarang masih ada sisa-sisa darah Sang Payau Emas dan juga jejak-jejak telapak tangan dan kaki Nenek Apoi.

Sumber: Diadaptasi bebas dari http://www.ssl.sabah.gov.my/