Si Jampang

Alkisah, pada zaman dahulu di daerah Jampang (sekarang termasuk wilayah Provinsi Banten), lahirlah seorang bayi dari sepasang suami isteri. Ketika melihat bayi yang dilahirkan isterinya berjenis laki-laki, sang suami tampak sangat bersuka cita. Dengan bangga ia berkata pada isterinya, “Ini dia anak lelakiku. Lihatlah, betapa sehat dan gagahnya dia!”

“Iya Bang! Anak kita tampak gagah sekali,” kata Sang Isteri.

Selang beberapa minggu kemudian, setelah melewati beberapa upacara lingkaran hidup, bayi itu diberi nama Si Jampang. Dengan perawatan yang baik dan kasih sayang yang cukup Si Jambang akhirnya tumbuh menjadi seorang pemuda yang sesuai dengan harapan kedua orang tuanya. Ia pintar, gagah, tampan, mandiri dan pandai bermain pencak silat.

Ketika menginjak usia dewasa Si Jampang dibawa oleh orang tuanya ke Betawi untuk dinikahkah dengan seorang gadis cantik dari daerah Kebayoran Lama. Sesuai dengan sifatnya yang mandiri, setelah menikah Si Jampang tidak ingin tinggal bersama orang tuanya ataupun mertuanya. Ia lebih memilih untuk membeli tanah dan membangun rumahnya sendiri di daerah Grogol.

Namun sayang, beberapa tahun setelah menikah dan dikaruniai seorang anak laki-laki, sang isteri meninggal dunia karena sakit. Sejak itu, Si Jampang hanya hidup dengan anak laki-laki satu-satunya yang oleh masyarakat sekitar dijuluki sebagai Si Jampang Muda.

Ketika anak Si Jampang tumbuh menjadi seorang pemuda yang juga gagah dan tampan, dia langsung disekolahkan ke pondok pesantren. Tujuannya adalah agar menjadi anak yang soleh dan berbakti terhadap orang tua. Dan ternyata, Si Jampang Muda sangat senang tinggal di pesantren. Malahan, dia lebih memilih bermain bersama dengan santri-santri lainnya dan hanya sesekali pulang kerumah menjumpai ayahnya.

Keadaan ini membuat Si Jampang menjadi semakin kesepian. Untuk menghibur diri ia sering bepergian ke kampung-kampung lain sambil bersilaturahim ke rumah para sahabatnya. Namun kesedihannya malah semakin bertambah karena melihat banyaknya masyarakat kecil yang hidup menderita. Mereka banyak dimanfaatkan oleh orang-orang kaya untuk diperas tenaganya dengan bayaran yang ala kadarnya.

Untuk membantu meringankan penderitaan rakyat miskin, Si Jampang mengambil inisiatif untuk merampok harta orang-orang kaya yang dianggap kikir dan menyengsarakan rakyat. Harta rampokan itu dibagikannya pada orang-orang miskin agar mereka hidup dengan layak.

Berita mengenai Si Jampang yang beralih profesi menjadi perampok akhirnya menyebar juga hingga ke pondok pesantren tempat Si Jampang Muda menimba ilmu. Si Jampang Muda menjadi malu dan buru-buru pulang ke rumah untuk menemui Ayahnya.

Sesampainya di rumah ia langsung betanya pada ayahnya, “Be, Jampang kagak mau lagi balik ke pondok. Jampang malu!”

“Kenapa malu, Tong?” tanya Si Jampang penasaran.

“Jampang malu dibilang anak Perampok!” jawab Si Jampang Muda.

“Coba lihat orang-orang di sekelilingmu, Tong. Kebanyakan dari mereka hidup miskin dan sengsara karena diperdaya oleh orang-orang kaya. Nah, Babe lu ni cuman bantu ngembalikan haknye orang miskin, Tong. Harta yang Babe rampok, babe kasih lagi tuh, biar mereka hidupnye kagak begitu sengsara,” kata Si Jampang panjang lebar.

Si Jampang Muda akhirnya mengerti dan tidak malu lagi untuk tetap tinggal di pondok pesantren. Ia sadar kalau perbuatan ayahnya itu karena didorong oleh rasa kasihan terhadap sesama akibat penindasan yang dilakukan oleh orang-orang kaya. Ia juga sadar kalau perbuatan ayahnya salah, tetapi hanya itulah satu-satunya jalan yang dapat ditempuh untuk membantu sesamanya.

Singkat cerita, persoalan itu terselesaikan, namun muncul persoalan baru yang lebih besar. Si Jampang yang telah lama menduda jatuh hati kepada seorang janda beranak dua bernama Mayangsari. Karena kecintaannya tidak ditanggapi, Si Jampang lalu pergi ke Kampung Gabus untuk menemui seorang dukun bernama Pak Dul. Oleh Pak Dul Mayangsari dipelet sehingga ia tergila-gila pada Si Jampang.

Di lain pihak, melihat ibunya menjadi tergila-gila pada Si Jampang, sang anak yang bernama Abdih menjadi marah sekaligus bingung. Ia marah karena ada orang yang tega memelet ibunya. Namun ia juga bingung harus dengan cara aga agar sang ibu dapat sembuh seperti sediakala. Dan, setelah bertanya kesana-kemari, akhirnya Abdih mendapat keterangan bahwa di Kampung Gabus ada dukun yang dapat mengobati pelet dan guna-guna. Ia lalu pergi ke dukun yang ternyata sama dengan dukunnya Si Jampang yaitu Pak Dul. Oleh Pak Dul pelet yang telah dikirim dicabutnya lagi sehingga Mayangsari sembuh dan tidak ingat pada Si Jampang.

Untuk menuntaskan masalah ini Abdih langsung menuju ke rumah Si Jampang. Tujuannya adalah membuat perhitugan dengan Si Jampang agar ia tidak berbuat semena-mena terhadap orang lain. Namun ketika bertemu langsung dengan Si Jampang nyalinya menjadi ciut seketika. Dan, ketika Si Jampang bersikeras hendak mengawini ibunya, Abdih hanya dapat berkata, “Kalau Abang tetap pengen kawin sama ibu ane, Abang kudu nyediain sepasang kerbau sebagai mas kawinnye. Gimane?”

“Ane kagak keberatan, Abdih. Akan ane usahakan!” kata Si Jampang dengan penuh semangat.

Tetapi setelah Abdih pulang, giliran Si Jampang yang kebingungan. Dia tidak tahu harus dengan cara apa mendapatkan sepasang kerbau yang mahal harganya. Jalan keluar satu-satunya hanyalah dengan merampok dari orang kaya. Untuk itu, dia segera mengajak temannya yang bernama Sarpin merampok ke rumah Haji Saud, orang kaya yang tinggal di daerah Tambun.

Namun hari itu merupakan hari naas bagi Si Jampang. Setelah berhasil merampok Haji Saud, Si Jampang dan Sarpin segera dihadang sekawanan polisi Belanda yang telah menunggunya di gerbang Kampung Tambun. Mereka pun akhirnya ditangkap dengan mudah dan tanpa perlawanan karena ditodong senapan-senapan laras panjang milik opsir Belanda.

Si Jampang kemudian dibawa ke penjara dan setelah disidang dinyatakan bersalah sehingga harus di hukum mati. Dengan dihukummatinya Si Jampang orang-orang kaya serta pejabat pemerintah Belanda menjadi gembira. Mereka merasa tidak khawatir lagi kalau harta bendanya akan dirampok. Sebaliknya, rakyat kecil yang selama ini menderita menjadi sedih. Orang yang selama ini dianggap sebagai pahlawan karena telah membela mereka harus mati di tangan Belanda.

Sumber:
Diadaptasi bebas dari http://www.bali-directory.com